Donasi di Peduly bisa mulai Rp100 rupiah lho!

Inilah Kisah Aksi Pemberantasan Buta Aksara, Penuh Perjuangan dan Ketekunan!

Buta huruf atau buta aksara merupakan masalah krusial yang harus segera diberantas dan dituntaskan. Sumber daya manusia yang besar bisa menjadi potensi bagi Indonesia untuk bergerak maju. Untuk itu, perlu upaya untuk meningkatkan kualitas SDM kita. Nah, salah satu upaya peningkatan kualitas manusia adalah dengan aksi pemberantasan buta aksara. Ini lah kisahnya.

Pemberantasan Buta Aksara di Desa Tsinga

Dilansir dari bisnis.com, Hugo Gian Trendi Virgiawan meninggalkan kampung halamannya demi mengabdi ke Papua. Lebih tepatnya di Desa Tsinga, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Timika. Hugo rela ke Papua untuk menjadi anggota pengajar. Minatnya pada dunia kepengajaran sudah muncul semenjak Hugo masih dibangku kuliah. Ia menjadi tertarik untuk mengabdi ke Papua karena pada saat kuliah banyak teman-temannya yang berasal dari Papua dan mereka begitu semangat dalam menempuh pendidikan.

Hugo adalah lulusan Universitas Atma Jaya Yogyakarta jurusan komunikasi. Setelah lulus, ia kemudian memutuskan untuk berangkat ke wilayah bagian Timur dari Indonesia. Pada bulan pertama ia tinggal di Papua menjadi bulan terberat dalam hidupnya. Tak mudah bagi masyarakat Papua untuk menerima kehadiran Hugo. Kendala lain bagi Hugo adalah ia tak menguasai bahasa Papua dan masyarakat Papua pun tak semuanya bisa lancar berbahasa Indonesia. Penolakan dan kesulitan dihadapi Hugo dengan sabar dan hati yang teguh.

Pada Januari 2018, terbentuk Yayasan Generasi Amungme Bangkit yang menjadi wadah bagi Hugo untuk mengajar. Hugo mengajar siswa usia sekolah dasar. Ada 100 siswa yang menjadi peserta didik di yayasan tersebut. Hugo mengajar anak-anak yang putus sekolah dengan belajar membaca, berimajinasi, bercerita, dan bermain peran.

Ilustrasi: pemberantasan buta huruf yang dilakukan oleh Hugo di Desa Tsinga
Sumber: Google Image/GlobalGiving

Pemberantasan Perempuan Buta Aksara

Dikutip dari amp-rappler-com.cdn.ampproject.org, Para ibu di desa Sambirejo, Kecamatan Plupuh, Sragen, beranggapan bahwa pendidikan baca tulis tidak terlalu penting karena pekerjaan mereka hanya sebatas mengurus ladang dan ternak. Kondisi semacam inilah yang menjadi dasar bagi Yuni Widayanti untuk membuka sekolah non formal bagi para perempuan buta huruf. Yuni mendirikan sekolah non formal sejak tahun 2011. Ia adalah seorang guru wiyata bakti non PNS yang mengajar di TK Sambirejo 2. Yuni merintis sekolah ini seorang diri mulai dari mencari tempat, menyediakan fasilitas, hingga mencari peserta didik.

Yuni tinggal di Desa Sambikerep setelah menikah dengan suaminya yang sehari-harinya menjadi petani. Ia prihatin dengan kondisi penduduk desa yang banyak putus sekolah dan angka buta huruf yang tinggi. Pernikahan dini dan pola pikir yang kurang maju menyebabkan para perempuan menjadi enggan menempuh pendidikan. Ketika ibu-ibu banyak berkumpul di suatu tempat, Yuni kemudian meluangkan waktu untuk mengajar dan mendatangi ibu-ibu tersebut. Menurutnya, sulit untuk mengajar ibu-ibu untuk membaca dan menulis karena memang tidak ada dorongan yang kuat dari diri ibu-ibu untuk belajar. Mereka beranggapan bahwa tidak terlalu penting untuk bisa baca tulis dan baca tulis tidak dipelukan karena pekerjaan mereka tidak wajib untuk menguasai hal tersebut. Untuk menarik perhatian ibu-ibu tersebut, Yuni menggunakan cara bertema agama seperti pengajian sebelum memulai belajar membaca dan menulis.

Ilustrasi: Pemberantasan perempuan buta aksara yang diprakarsai oleh Yuni
Sumber: Google Image/Vox

Nenek yang Berjuang Melawan Buta Huruf

Kisah seoraang nenek-nenek yaitu Bu Ina, Bu Maseni, dan Bu Juminah adalah seorang perempuan yang berusia 50 tahun. Meskipun usianya tak lagi muda, namun semangatnya untuk bisa belajar baca dan tulis tidak luntur. Mereka dengan dua orang mahasiswa bersama-sama belajar baca tulis di mushola yang ada di Sukapura, Jakarta Utara. Dika dan Eep dala mahasiswa asal Universitas Negeri Jakarta yang selama enam bulan menjadi relawa pendamping kegiatan pemberantasan buta aksara yang digagas oleh LSM Yappika Jakarta.

Dilansir dari yappika-actionaid.or.id, Yappika membentuk kelompok belajar ibu-ibu di Kelurahan Marunda dan Kelurahan Sukapura, Jakarta Utara. Ada 10 kelompok belajar yang setiap kelompok terdiri dari 10 ibu-ibu paruh baya. Fokus dari pemberantasan buta huruf ini dikhususkan untuk ibu-ibu karena kondisi buta aksara menyebabkan mereka menjadi rentan. Mereka buta huruf, miskin, dan jadi tulang punggung keluarga menjadi rentan ditipu saat ada kegiatan seperti pengisian formulir ketika di pelayanan publik. Langkah belajar baca tulis menjadikan ibu-ibu lebih kaya pengetahuan dan menjadi lebih berdaya.

Ilustrasi: Perjuangan nenek-nenek untuk bisa belajar membaca dan menulis
Sumber: Google Image/The Indian Express
Cindi Claudia
Saya merupakan manusia biasa seperti Anda semua. Walaupun biasa, saya terus berusaha untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. Salah satunya menjadi bagian dari Peduly.com yang berusaha membantu orang-orang yang kurang beruntung dan membutuhkan uluran tangan dari kita.